Minggu, 24 Februari 2008

Kasus Bantuan Luar Biasa Banget ( BLBI )

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.

Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik banding. Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern). Berikut adalah penerima dana BLBI antara lain Agus Anwar (Bank Pelita), Samadikun Hartono (Bank Modern), Kaharuddin Ongko (Bank Umum Nasional), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Lidia Muchtar dan Omar Putihrai (Bank Tamara), Adisaputra Januardy dan James Januardy (Bank Namura Yasonta), Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa), Santosa Sumali (Bank Metropolitan dan Bank Bahari), Fadel Muhammad (Bank Intan), Baringin MH Panggabean dan Joseph Januardy (Bank Namura Internusa), Trijono Gondokusumo (bank Putera Surya Perkasa), Hengky Wijaya dan Tony Tanjung (Bank Tata), I Gde Dermawan dan Made Sudiarta (Bank Aken), Tarunojo Nusa dan David Nusa Wijaya (Bank Umum Servitia).

Banjir Lagi Banjir Lagi

Sejak beberapa saat lalu bahkan sampai menjelang tahun baru 2008, cuaca Indonesia kian tak menentu, kadang panas sekali kadang hujan disertai angin kencang dan petir dimana - mana. Kata orang jawa “Jagade Peteng”, barangkali itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi alam indonesia saat ini.

Bencana banjir yang melanda beberapa kota di Indonesia belakangan ini cukup meresahkan. Bencana tersebut tidak hanya menyebabkan berbagai aktivitas lumpuh total, tetapi juga menyebabkan kerugian materi dan menelan korban jiwa. Adalah suatu tindakan yang tidak bijaksana jika kita hanya berdiam diri dan bertindak sebagai penonton saja melihat mereka yang sedang kesusahan. Mereka semua adalah saudara yang sangat membutuhkan bantuan dari kita. Namun, apakah yang dapat kita lakukan bagi mereka sementara kita berada di daerah yang cukup jauh dari mereka? Kita dapat membantu mereka dengan ikut mengirimkan bantuan material atau kita juga dapat mendukung mereka melalui doa-doa pribadi kita.

Begitulah kira- kira hadiah taun baru 2008 kali ini, begitu memilukan. Ya Tuhan, apakah ini sekedar ujian atau murkamu telah datang, atau dunia ini akan segera berakhir?, mari bertaubat! bencana datang silih berganti hingga sebagian diantara kami tak sempat menanam padi lagi. Meski demikian mari kita merenung sejenak dan berdoa untuk tahun 2008 mendatang semoga kejadian disepanjang tahun silam mampu mengetuk hati kita semua.

kontroversi UAN

UAN 2007/2008 akan ditambah menjadi 6 mata pelajaran dan nilai minimumnya ditingkatkan lagi..busyet!! Ulah apa lagi dibuat sang birokrat yang tak merakyat? Ya, mengapa pertanyaannya seperti itu..? Jawabannya adalah baru-baru ini pemerintah resmi mengetok palu untuk masalah Ujian Akhir Nasional atau Ujian Nasional (sama saja lah.., itu hanya simbol pendidikan yang dibuat pemerintah untuk menyengsarakan generasi penerus bangsa Indonesia). Ujian Nasional untuk SMA akan dilaksanakan mulai tanggal 22-24 April 2008. Tanggal tersebut akan menjadi hari paling mengesalkan bagi para anak didik, khususnya Saya pribadi…

Betapa tidak, ujian yang 3 hari itu memuat 6 mata pelajaran yang harus dikerjakan siswa 1 hari 2 mata pelajaran. Ya, untuk kelompok IPA, mata pelajaran yang diujikan adalah Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Biologi, Fisika, dan Kimia. Sementara IPS yang diujikan adalah Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris (bahasa munafik yang harus kita tekuni), Matematika Dasar, Geografi, Sosiologi. Mmmph, mamam de tuh 6 mata pelajaran.

Sekarang, coba kita hitung-hitungan,, belajar di kelas X, 1 tahun, di kelas XI, 1 tahun, di kelas XII, 1 tahun. Artinya kalau ditotal kita belajar di SMA, 3 tahun. Masa’ 3 tahun belajar dibayar dengan 3 hari yang 6 pelajaran….?? yang bener aje pemerintah…? (emang bisanya merintah doang, ga mikirin nasib yang diperintah).

pro kontra kasus mantan presiden soeharto

Di tengah mantan Presiden Soeharto menjalani perawatan intensif, muncul pro dan kontra diadili-tidaknya mantan orang terkuat ini. Namun, tuntutan untuk mengadili orang yang dalam keadaan sakit bisa dikatakan tidak etis. Apalagi, pembicaraan itu muncul ketika yang bersangkutan sedang dalam kondisi tidak sehat, bahkan sedang dalam perawatan intensif. Sungguh aneh masalah hukum yang terkait mantan presiden ini karena dari sisi hukum, tuntutan pidana telah dihentikan dengan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (SKPP) oleh Jaksa Agung dengan alasan sakit permanent

Langkah hukum dan politik
Perlu diingat, salah satu tujuan gerakan reformasi tahun 1998 adalah menuntaskan kasus mantan Presiden Soeharto. Sejalan adagium, meski langit akan runtuh tetapi hukum tetap harus ditegakkan, maka masih ada banyak jalan ke Roma. Solusi untuk mengatasi masalah pro-kontra ini secara hukum adalah, pertama, langkah hukum maupun langkah politik harus dilakukan bersamaan karena yang menjadi obyek tersidik adalah mantan presiden yang telah banyak berjasa terhadap bangsa dan negara. Dengan demikian, keputusan politik dan hukum harus bijaksana dan mencerminkan jiwa negarawan.

Bertolak dari langkah hukum itu, tampaknya kasus ini sulit dilaksanakan sungguh-sungguh karena sarat dengan berbagai kepentingan masa lampau selain masalah kemanusiaan semata-mata. Masalahnya, apakah kita berani menuntaskan gerakan dan cita reformasi 1998 atau menusuk gerakan reformasi 1998 yang telah mengakibatkan pergantian Orde Baru kepada Orde Reformasi?